Laman

Rabu, 09 Maret 2011

konsep ta"dib

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Ta’dib adalah konsep pendidikan Islam yang digagas oleh Syeh Muhammad Naquib Al-Attas yang bertujuan mencetak manusia beradab. Ide Al-Attas tersebut dilator belakangi oleh krisis ilmu yang dialami kaum muslim. Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi dunia muslim adalah kesalahan dibidang ilmu. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya adab (the loss of adab). Kehilangan adab di sini maksudnya kehilangan identitas, ilmu-ilmu keislaman dan identitas ilmuan muslim. Lenyapnya identitas ilmu Islam tersebut dikarenakan gencarnya hegemoni Barat yang gerakaannya seiring dengan gelombang globalisasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian pendidikan konsep Ta’ dib
2. Pendidikan Ta’ dib dan Islamisasi
3. PengetahuanPembentukan karakter muslim menjadi Saintis beradab









BAB II
TINJAUAN TEORITIK


2.1 Tinjauan Aliran Filsafat
1. Semantik
Al-Attas mendefinisikan adab dari analisis semantiknya, yakni, adab adalah pengenalan dan pengakuan terhadap realita bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirearki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya, dan bahwa seseorang itu memiliki tempatnya masing-masing dalam kaitannya dengan realitas, kapasitas, potensi fisik, intelektual dan spiritual. Dalam hal ini, al-Attas memberi makna adab secara lebih dalam dan komprehensif yang berkaitan dengan objek-objek tertentu yaitu pribadi manusia, ilmu, bahasa, sosial, alam dan Tuhan. Beradab, adalah menerapkan adab kepada masing-masing objek tersebut dengan benar, sesuai aturan.
2. Rasionalistik
Model pendidikan yang menitikberatkan pada pelatihan cenderung menghasilkan individu pragmatis, yang aktifitasnya tidak mencerminkan pandangan hidup Islam.Ia hanya belajar untuk tujuan kepuasan materi. Padahal, pendidikan adalah proses panjang yang titik akhirnya adalah kebahagaiaan akhirat. Maka, konsep ta’dib memberikan itu. Target yang ingin dicapai dalam konsep ta’dib adalah penguasaan ilmu-ilmu itu mesti terselimuti oleh worldview Islam. Tidak ada dikotomi antara ilmu umum dan ilmu syar’i. Semua ilmu yang dipelajari, baik ilmu matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa, sosial dan lain sebagainya, mesti mendapat asupan dengan ilmu syari’at.
3. Empirik
Bisa dikatakan, integralisasi sains dan ilmu-ilmu humaniora dengan ilmu syar’i adalah inti utama konsep pendidikan ta’dib. Sebab dalam pandangan hidup Islam, aspek duniawi harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat adalah signifikasi yang final. Pandangan hidup Islam terbangun dari jaringan-jaringan konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, manusia, alam, ilmu, agama dan lain sebagainya. Manusia beradab menurut al-Attas adalah manusia yang sadar akan kedudukan dirinya di tengah realitas alam dan harus bisa berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan secara positif, terpecaya dan terpuji.
2.2 Tinjauan Permasalahan (Judul)
Untuk menjawab tantangan tersebut, al-Attas menggagas proyek Islamisasi ilmu pengetahuan. Proyek besar tersebut memerlukan perangkat-perangkat yang kuat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagai basis utama mega proyek tersebut harus mampu mencetak manusia beradab. Yakni manusia yang berpandangan hidup Islam dan menguasai ilmu-ilmu Islam secara integratif. Gagasan melahirkan manusia yang beradab tersebut diwujudkan dengan pendidikan konsep ta’dib sebagai formula pendidikan Islam yang ideal dan integratif. Tulisan ini akan membahas pendidikan konsep ta’dib dalam Islamisasi Ilmu pengetahuan untuk menjawab krisis ilmu di era globalisasi.






BAB III
PEMBAHASAN


3.1 Pengertian Pendidikan Konsep Ta’ dib
Konsep ta’dib yang digagas al-Attas adalah konsep pendidikan Islam yang bertujuan menciptakan manusia beradab dalam arti yang komprehensif. Pengertian konsep ini dibangun dari makna kata dasar adaba. Makna adaba bila maknanya dikaitkan satu sama lain, akan menunjukkan pengertian pendidikan yang integratif. Di antara makna-makna tersebut adalah, kesopanan, keramahan, dan kehalusan budi pekerti. Makna ini identik dengan akhlak. Adab juga secara konsisten dikaitkan dengan dunia sastra, yakni adab dijelaskan sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang indah yang mencegah dari kesalahan-kesalahan. Sehingga seorang sastrawan disebut adiib. Makna ini hampir sama dengan definisi yang diberikan al-Jurjani, yakni ta’dib adalah proses memperoleh ilmu pengetahuan (ma’rifah) yang dipelajari untuk mencegah pelajar dari bentuk kesalahan.
Pada dasarnya, konsep adab al-Attas ini adalah memperlakukan objek-objek tersebut sesuai dengan aturan, wajar dan tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan. Berkenaan dengan hal ini, maka adab juga dikaitkan dengan syari’at dan Tauhid. Orang yang tidak beradab adalah orang yang tidak menjalankan syari’at dan tidak beriman (dengan sempurna). Maka orang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Hak, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan setiap aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan sebagai manusia yang beradab.
Manusia yang beradab, akan melihat segala persoalan di alam ini dengan kacamata worldview Islam. Worldview Islam menjadi pisau analisa setiap persoalan keduniawian. Sebagaimana dinyatakan al-Attas, insan adabi itu harus berbuat selaras dengan ilmu pengetahuan secara positif. Yakni, seorang manusia yang selalu menggunakan epistemologi Islam dalam dialognya dengan realita alam. Individu-individu yang beradab seperti ini adalah berperan penting secara sosial dalam pembentuk sebuah masyarakat beradab.
Dapat disimpulkan, bahwa konsep ta’dib adalah konsep pendidikan yang bertujuan menghasilkan individu beradab, yang mampu melihat segala persoalan dengan teropong worldview Islam. Mengintegrasikan ilmu-ilmu sains dan humaniora dangan ilmu syari’ah. Sehingga apapun profesi dan keahliannya, syar’iah dan worldview Islam tetap merasuk dalam dirinya sebagai parameter utama. Individu-individu yang demikian ini adalah manusia pembentuk peradaban Islam yang bermartabat. Dalam tataran praktis, konsep ini memerlukan proses Islamisasi ilmu pengetahuan terlebih dahulu. Karena, untuk mencapai tujuan utama konsep pendidikan ini, ilmu-ilmu tidak hanya perlu diintegrasikan akan tetapi, ilmu yang berparadigma sekuler harus diislamkan basis filosofisnya.
3.2 Pendidikan Ta’ dib dan Islamisasi Pengetahuan
Sebagaimana disinggung di atas, konsep ta’dib adalah konsep yang dibangun dengan tujuan menghasilkan individu beradab.Individu yang seperti inilah yang berperan dalam proses Islamisasi ilmu pengetahuan.Al-Attas mengatakan tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan adalah melindungi orang Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan.
Ilmu-ilmu produk ilmuan Barat menimbulkan persoalan pelik yang tidak menguntungkan bagi pandangan muslim. Persoalan utamanya adalah pergeseran paradigma ilmu. Epistemologi yang digunakan dalam proses mendapatkan ilmu adalah epistemologi rasionalis,empiris dan membuang dimensi metafisik. Al-Attas menyebut lima poin yang menjiwai budaya keilmuan barat. Yaitu, mengandalkan akal untuk membimbing kehidupan manusia, menggunakan pendekatakan dikotomis atau dualistik terhadap realita kebenaran, menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler yang cenderung berpaham humanisme dan menjadikan tragedi sebagai faktor yang dominan dalam fitrah dan eksistensi kemanusiaan. Dengan pendekatan ini, ilmuan dipaksa untuk tidak memasukkan unsur-unsur metafisik atau penafsiran-penafsiran agama. Sehingga dalam hasil kajian ilmiah, sains tidak boleh bertemu dengan penafsiran agama.
Oleh sebab itulah, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern,beserta aspek-aspek empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historisitas ilmu tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, dan rasionalitas proses-proses ilmiah, teori ilmu tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, hubung kaitnya dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
Inilah tantangan terbesar yang dihadapi kaum muslim kontemporer, yang memerlukan gerakan untuk melakukan Islamisasi ilmu.Hal ini tidaklah mudah, harus membutuhkan individu-individu unggul untuk mengislamkan sains. Individu yang dimaksud adalah individu yang perpandangan hidup Islam. yang memahami konsep-konsep kunci dalam Islam. Dalam rangka itulah maka al-Attas menggagas konsep ta’dib untuk pendidikan Islam. sebuah terobosan baru di era seperti ini untuk membentuk pendidikan yang berpandangan hidup Islam.
3.3 Pembentukan Karakter Muslim Menjadi Saintis Beradab
Problem yang melanda pendidikan Islam dan intelektual muslim tersebut dikarenakan dua sebab, eksternal dan internal. Sebab eksternal dikarenakan oleh tantangan hegemoni Barat dalam bidang budaya, sosial, politik dan agama. Sedangkan penyebab internal tampak dalam tiga bentuk fenomena yang saling berhubungan, yaitu kekeliruan dan kesalahan dalam memahami ilmu beserta aplikasinya,tidak adanya adab, dan munculnya pemimpin-pemimpin yang tidak layak memikul tanggung jawab dengan benar di segala bidang.
Sains Islam lahir dari ilmuan yang berpandangan hidup Islam, atau ilmuan yang beradab. Gagasan ta’dib adalah ingin mencetak ilmuan yang beradab. Manusia beradab sebagaimana diterangkan di atas adalah manusia yang menerapkan adab dalam setiap asepk. Adab terhadap Tuhan, diri sendiri, lingkungan sosial, hubungan antar sesama manusia, bahasa, alam, dan ilmu. Adab kepada ilmu, akan berpengaruh besar terhadapa adab kepada objek-objek yang lainnya. Menurut al-Attas intelektual yang beradab kepada ilmu akan mengenal dan mengakui bahwa seorang berilmu kedudukannya lebih luhur dan mulia dan ilmu-ilmu fardlu ‘ain dan syari’ah harus dikuasai terlebih dahulu sebelum ilmu-ilmu yang lainnya. Adab seperti ini akan menghasilkan metode yang tepat dalam memperoleh ilmu, serta menerapkan sains dalam berbagai bidang dengan benar. Maka dalam tradisi ilmu pengetahuan Islam tidak akan ditemuakan penyalahgunaan ilmu untuk tujuan pragmatis, materialis atau tujuan-tujuan lain untuk memuaskan nafsu manusia. Sebab, dalam tradisi Islam, semua ilmu baik ilmu syari’at atau ilmu-ilmu alam dipelajari dalam rangka pengabdian yang tinggi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan meraih kebahagian sejati. Contohnya seperti temuan nuklir, tidak akan digunakan memusnahkan bangsa lain untuk tujuan perluasan daerah kekuasaan.Atau seorang ahli kedokteran Islam juga tidak akan menggunakan cara-cara haram atau pengobatan yang merugikan.
BAB IV
PENUTUP


4.1 Simpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep ta’dib sebagai konsep pendidikan Islam yang digagas Al-Attas adalah perangkat dasar dalam hal Islamisasi Ilmu pengetahuan.Hal ini hanya bisa dilakukan oleh ilmuan-ilmuan muslim yang berpandangan hidup Islam dan memiliki dasar-dasar keilmuan Islam yang kuat.
Maka, gagasan al-Attas tentang konsep ta’dib di era saat ini adalah suatu hal yang perlu disambut positif. Sebab, dunia pendidikan Islam kita belum menemukan bentuk yang ideal untuk mencetak generasi ilmuan muslim unggul yang bisa berbuat banyak dalam kancah dunia. Apalagi, ilmu-ilmu dari dunia barat menjadi konsumsi publik dunia,perlu di Islamkan demi menegakkan peradaban Islam yang bermartabat. Dunia pendidikan Islam, sudah saatnya mengkonsentrasikan diri untuk membentuk manusia-manusia yang beradab. Itu hanya bisa dilakukan jika dunia pendidikan mengajarkan ilmu yang benar secara integratif.







DAFTAR PUSTAKA


Arifin, HM. 1987. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bina aksara.
Arifin, HM. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bina aksara.
Kemas, Badarudin. 2008. Analisis Pemikiran Syed Al- Attas. Jogjakarta : Pustaka Pelajar.
Langgulung, Hasan. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta : Pustaka Al- Husna.
Marimba, Ahmad. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : Al- Ma’ ruf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar